0

Pengertian Dzawil Arham dan Pembagian Waris Dzawil Arham

 pengertian dzawil arham dan pembagian waris dzawil arham

Syari’at Islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya. Agama Islam menetapkan hak milik seseorang atas harta, baik laki-laki atau perempuan melalui jalan syara’. seperti perpindahan hak milik laki-laki dan perempuan di waktu masih hidup ataupun perpindahan harta kepada para ahli warisnya setelah ia meninggal dunia.

Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.

Namun, seiring berkembangnya zaman, masalah kewarisan dikembangkan secara kompleks oleh para fuqoha. Dalam kewarisan tersebut mereka mengelompokkan pihak-pihak dalam hal warisan sebagai berikut: Dzawil furudh, Ashabah dan Dzawil Arham dzawil. Diantara tiga golongan tersebut yang menarik perhatian adalah dzawil arham yang banyak perselisihaan mengenai pembagian hak warisnya. Dalam Artikel  ini pembahasan akan fokus untuk sedikit mengupas pembagian hak waris Dzawul arham menurut para ulama dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. langsung saja sobat kita masuk ke pembahasan. 

Pengertian Dzawil Arham

Dzawil Arham terdiri dari duat kata yaitu dzawil dan arham, Dzawil secara bahasa ialah orang yang mempunyai hubungan kerabat secara mutlak.  Arham adalah jamak dari rahim, rahim bermakna tempat anak di dalam perut ibu. Menurut istilah dzawil arham memiliki pengertian golongan kerabat yang tidak termasuk golongan ashabul furud dan ashobah. 

Menurut Hanafi dan Syafi’i dzawil arham adalah para kerabat yang mempunyai hubungan darah dengan si mati tetapi bukan kerabat dzawil furudh dan bukan kerabat ‘Asabah yaitu semua anggota keluarga di garis ibu, lelaki maupun perempuan dan semua anggota keluarga yang perempuan di garis bapak kecuali empat perempuan yang ditentukan bagiannya di dalam al-Qur`an anak perempuan, anak perempuan dari anak lelaki, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan sebapak. 

Menurut Ulama Sunni kelompok dzawil arham adalah semua orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pewaris tetapi tidak menerima warisan karena terhijab oleh ahli waris dzawil furudh dan ashabah. Antara lain:

1. Cucu dari keturunan anak perempuan dan seterusnya ke bawah (laki-laki maupun perempuan).
2. Anak dari cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dan seterusnya ke bawah (laiki-laki maupun perempuan).
3. Anak-anak dari saudara perempuan kandung, seayah, seibu, baik laki-laki maupun perempuan.
4. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung, seayah, seibu, dan seterusnya ke bawah.
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, dan seterusnya ke bawah.

Pembagian Hak Waris Dzawil Arham Menurut Ulama

Pembagian hak waris dzawil arham terdapat perbedaan pendapat antar ulama ada yang menyatakan dzawil arham tidak dapat mewarisi dan ada yang dapat mewarisi. Pendapat yang menyatakan dzawil arham dapat mewarisi cara pembagiannya adalah ahli waris dzawil arham ialah dengan memposisikanya ahli waris yang mendekatkannya pada mayit. Misalnya cucu perempuan dari anak perempuan menemapati posisi anak perempuan.

1. Bagian waris dzawil arham menurut ulama
Menurut mazhab Syafi’i dan Maliki serta Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Abbas berpendapat bahwa dzawil arham tidak mewarisi sama sekali, jadi apabila seseorang meninggal dunia tidak meninggalkan dzawil furud dan ashobah maka harta peninggalannya diserahkan kepada baitul mal dan tidak berikan kepdada dzawil arham.  Dalil yang menjaddi dasar mereka adalah hadis Nabi Muhammad Saw; “bahwa Rasulullah Saw. Mengenakan jubah untuk beristikharoh kepada Allah swt, tentang pusaka ‘Ammad dan khalah. Kemudaian Allah memberikan petunjuk bahwa untuk keduanya tidak ada hak pusaka” (HR Sa’ad al Musanadat).  Pendapat ini juga diikuti oleh golongan ulama Sunni.

Menurut Imam Hanafi, Imam Ahmad bin Hanbal dan jumhur ulama yang dinukil dari pendapat Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khatab berpendapat bahwa dzawil arham itu dapat mempusakai harta peninggalan  bila tidak ada dzawil furud dan ashobah karena dzawil arham lebih diprioritaskan dari baitul mal.   Pendapat ini diikuti oleh sebagian golongan Syiah. Dalil yang mereka kemukakan adalah firman Allah dalam surat Al-anfal ayat 75:

 ...وَأُوْلُواْ ٱلۡأَرۡحَامِ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلَىٰ بِبَعۡضٖ فِي كِتَٰبِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمُۢ ٧٥ 
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

2. Pembagian hak Waris Dzawil Arham di Indonesia
Di Indonesia sejak diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam teori klasik pembagian waris golongan Dzawil Arham digantikan dengan isitilah waris pengganti. Masalah waris pengganti telah diterapkan dalam kewarisan Islam oleh hakim-hakim Pengadilan Agama dan Mahkamah Agung RI. Kompilasi Hukum Islam dikeluarkan pada masa pemerintahan Orde Baru yang merupakan intruksi dari presiden RI Nomor: 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. 

Dalam pasal 185 ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi Hukum Islam diatur sebagai berikut:
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Dari ketentuan ayat (1) dan ayat (2) di atas menunjukan bahwa Kompilasi Hukum Islam memberi peluang yang sangat besar kepada seorang cucu yang ketika kakek atau neneknya meninggal dunia ia mendapat bagian warisan dari hak orang tuanya yang telah meninggal terlebih dahulu dari pada kakeknya, walaupun si cucu ini perempuan dan mewaris bersama anak laki-laki.

Ketentuan Kompilasi Hukum Islam dengan sendirinya telah menggeser teori klasik dalam dua segi. Pertama: hak penggantian bisa diberikan kepada ahli waris manapun terlepas dari jenis kelamin dan jaraknya dari pewaris. Kedua: porsi ahli waris pengganti tidak boleh lebih besar dari ahli waris lain yang sejajar dengan ahli waris yang digantikan. Ketentuan Kompilasi Hukum Islam ini merupakan terobosan pembaharuan hukum pewarisan Islam dengan menciptakan interpretasi baru yang berbeda dengan pemikiran fuqoha yang terdapat dalam kitab-kitab fikih klasik. 

Dari pembahasan diatas saya menyimpulkan sebagai berikut:
1. Dzawil arham memiliki pengertian  golongan kerabat yang tidak termasuk golongan Ashabul furud dan ashobah. Menurut Ulama Sunni kelompok dzawil arham adalah semua orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pewaris tetapi tidak menerima warisan karena terhijab oleh ahli waris dzawil furudh dan ashabah.
2. Pembagian hak waris menurut para ulama berbeda, ada yang menyatakan berhak mendapatkan ada yang menyatakan Menurut mazhab Syafi’i dan Maliki serta Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Abbas berpendapat bahwa dzawil arham tidak mewarisi sama sekali. Dan pendapat Imam Hanafi, Imam Ahmad bin Hanbal dan jumhur ulama yang dinukil dari pendapat Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khatab berpendapat dzawil arham dapat mewarisi harta peninggalan.
3. Pembagian waris golongan Dzawil Arham di negara Indonesia tidak dikenal, sejak diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam atas intruksi Presiden RI golongan Dzawil Arham digantikan dengan istilah Waris Pengganti. Dan keberdaan golongan waris ini diatur dalam BAB II KHI Pasal 185 Ayat 1 dan 2.
B. Saran
Sebagai mahasiswa Hukum jurusan Hukum Perdata Islam sudah menjadi keharusan untuk mengetahui pembagian hak waris golongan Dzawil Arham menurut pendapat ulama dan menurut KHI.
Demikian artikel  Pengertian Dzawil Arham dan Pembagian Waris Dzawil Arham (Menurut Ulama Sunni dan Syiah dan KHI) kami tulis. semoga bermanfaat. 


Sumber Referensi: 
Anshary, Hukum Kewarisan Islam Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2013.
Mardani,  Hukum Kewarisan Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2014..
Salman, Otje Dan Mustofa Haffas,  Hukum Waris Islam, Bandung: Aditama, 2006.
Kompilasi Hukum Islam BAB II Pasal 185.

Posting Komentar

 
Top