0

Pengertian dan Problematika Takwil dan Jenis-Jenis Lafadz

Pengertian dan Problematika Takwil dan Jenis-Jenis Lafadz


Sebagaimana telah diketahui bahwa sumber ajaran Islam baik itu Al-Qur’an ataupun As-Sunnah adalah menggunakan bahasa Arab. Hal ini dapat dimaklumi mengingat bahwa ajaran Islam pertama kali diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad yang bertempat tinggal di Jazirah Arab. Oleh karena itu, untuk memahami hukum-hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah harus benar-benar memahami gaya bahasa yang ada dalam bahasa Arab dan cara penunjukan lafadh kepada artinya. 

Dalam pemahaman ini terdapat dua metode yaitu metode maqashid (ma’nawiyah) dan metode lafzhiyyah (lughawiyyah). Dalam artikel ini saya  akan mencoba mengurai tentang metode lafzhiyyah (lughawiyyah), metode lafzhiyyah/lughawiyyah didasarkan pada pandangan bahwa sumber utama hukum Islam adalah Al-Qur’an dan hadits yang berbahasa Arab. Tidaklah mungkin memahami teks Al-Qur’an dan hadits yang berbahasa Arab itu dengan benar tanpa memahami seluk beluk bahasa Arab melalui seperangkat kaidah kebahasaannya. Di dalam artikel ini saya akan membahas tentang klasifikasi lafadh dari sisi kejelasan makna dan problematika pentakwilan makna.  silahkan simak baik-baik sobat. 


Klasifikasi Lafadh Dari Sisi Jelas Tidaknya Makna.
Adapun yang dimaksud dengan lafadh yang jelas maknanya ialah, suatu lafadh yang menunjuk pengertian maknanya dengan jelas tanpa membutuhkan keterangan tambahan dari selain lafal itu sendiri. Berikut adalah macamnya:

a. Dhahir atau Azh-Zhahir.
Adapun yang dimaksud dengan azh-zhahir ialah, suatu lafal yang menunjuk pengertian makna yang segera dapat dipahami dari lafal tersebut, tetapi tujuan utama penggunaan lafal tersebut bukan maknanya itu sendiri, melainkan makna yang lain. Di samping itu lafal zhahir memiliki kemungkinan untuk menunjuk makna khusus atau diberi makna lain . 

b. Nash.
Nash, menurut istilah ulama ushul fikih adalah suatu yang dengan bentuknya sendiri menunjukkan makna asal yang dimaksud dari susunan katanya dan mungkin untuk ditakwil. Jika makna itu langsung dipahami dari lafal, pemahamannya tidak butuh factor luar dan ia adalah makna asal yang dimaksud dari susunan kata itu .

c. Mufassar.
Adapun yang dimaksud dengan mufassar ialah, suatu lafal yang menunjuk pengertian maknanya yang jelas, dan tujuan utama penggunaan lafal tersebut memang untuk menunjuk maknanya itu sendiri  



d. Muhkkam.
Adapun yang dimaksud dengan lafal muhkam ialah, suatu lafal yang terang maknanya untuk menunjuk pengertiannya, yang tujuan utama penggunaannya memang untuk menunjuk maknanya itu .
e. Khafi.

Lafadz khafi adalah lafadz yang penunjukannya kepada maknanya jelas. Akan tetapi, penenrapan maknanya kepada sebagian satuannya terdapat kekaburan yang bukan disebabkan oleh lafadz itu sendiri .

f. Musykil.
Lafadz musykil adalah lafadz yang sighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang dikehendaki. Akan tetapi, harus ada qarinah dari luar agar menjadi jelas apa yang di kehendakinya. 

g. Mujmal.
Mujmal adalah lafadz yang sighatnya sendiri tidak menunjukkan makna yang dikehendaki dan tidak pula didapati qarinah lafzhiyah (tulisan) atau haliyah (keadaan) yang menjelaskannya. Jadi, setiap lafadz yang tidak dapat dipahamkan maksudnya dengan sendirinya, bila tidak disertai qarinah yang dapat menyampaikan maksud tersebut disebut mujmal .

h. Mubayyan.
Mubayyan ialah suatu perkataan yang jelas maksudnya tanpa memerlukan penjelasan dari lainnya .


i. Mutasyabih.

Mutasyabih adalah lafadh yang sighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang dikehendaki dan tidak didapati qarinah-qarinah dari luar yang menjelaskannya, disamping itu tidak terdapat keterangan lain yang menjelaskan tunjukan makna tersebut secara spesifik . 

Problematika Pentakwilan Makna.

Pengertian Ta’wil 
Secara laughwi (etimologis) ta’wil berasal dari kata al-awl (أوّل - يؤوّل  ), artinya kembali; atau dari kata al ma’al artinya tempat kembali; al- iyalah yang berarti al –siyasah yang berarti mengatur.   Muhammad husaya al-dzahabi , mengemukakan bahwa dalam pandangan ulama salaf (klasik), ta’wil memilki dua pengertian :

Pertama : penafsirkan suatu pembicaraan teks dan menerangkan maknanya, tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan apa yang tersurat atau tidak.
Kedua : ta’wil adalah substansi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itu sendiri (nafs al- murad bi al-kalam). Jika pembicaraan itu berupa tuntutan , maka tak’wilnya adalah  perbuatan yang dituntut itu sendiri. Dan jika pembicaraan itu berbentuk berita. Maka yang dimaksud adalah substansi dari suatu yang di informasikan.   


Sedangkan pengertian Ta’wil, menurut sebagian ulama, sama dengan Tafsir. Namun ulama yang lain membedakannya, bahwa ta’wil adalah mengalihkan makna sebuah lafazh ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173]. Sehubungan dengan itu, Asy-Syathibi [t.t.: 100] mengharuskan adanya dua syarat untuk melakukan penta’wilan, yaitu: 
1. Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya [tidak bertentangan dengan syara’/akal sehat],
2. Makna yang dipilih sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Alquran].

Secara Terminologi, Ulama Salaf mendefinisikan takwil sebagai berikut: 

a.Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa

“Sesungguhnya takwil itu dalah ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafazh zahir.”

b.Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa:

“Membawa makna lafazh zohir yang memunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.
Kaum muhadditsin mendefinisikan takwil, sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh, yaitu:

Menurut Wahab Khalaf takwil yaitu “memalingkan lafazh dari zahirnya, karena adanya dalil.”
Menurut Abu Zahra takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zahir kepada makna yang lain, tetapi bukan zahirnya

Dari pengertian kedua istilah ini dapat disimpulkan, bahwa Tafsir adalah penjelasan terhadap makna lahiriah dari ayat Alquran yang penegrtiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki oleh Allah; sedangkan ta’wil adalah pengertian yang tersirat yang diistimbathkan dari ayat Alquran berdasarkan alasan-alasan tertentu.  

Masalah-masalah umum yang sering terjadi pada penakwilan makna adalah terjadinya perbedaan pendapat mengenai arti atau makna tersebut. Takwil digunakan untuk menguak makna yang tidak dapat ditafsirkan. Karena biasanya ayat-ayat yang ditakwilkan itu adalah ayat-ayat mutasyabihat.
Sasaran ta’wil pada umumnya adalah menyangkut ayat-ayat mutasyabihat atau ayat-ayat yang mempunyai sejumlah kemungkinan makna yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini, ayat-ayat mutsyabihat ialah ayat-ayat yang tidak terang maknanya. Menurut ulama’ dari kalangan mutakallimin, ayat-ayat mutasyabihat itu biasanya menyangkut tentang Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya. Kebalikannya adalah ayat-ayat muhkamat, yaitu ayat-ayat yang tegas dan terang maknanya.
Bagi para Ulama’ salaf, ayat-ayat mutsyabihat tidaklah begitu banyak, sebab mereka mempunyai kemampuan untuk memahaminya dengan kedalaman bahasa Arab yang dimilikinya. Namun setelah itu, lebih-lebih setelah kemampuan memahami bahasa Arab semakin lemah, maka jumlah atau bilangan ayat-ayat mutasyabihat menjadi semakin banyak. Sehubungan dengan itu, kebanyakan ayat-ayat yang disebut mutsyabihat itu oleh ulama’ulama’ yang muncul belakangan disebabkan oleh lemahnya dalam memahami bahasa Arab.  Ayat-ayat mutsayabihat lebih banyak menyangkut persoalan kepercayaan atau keyakinan, yang didalamnya berhubungan dengan eskatalogi (hal yang ga’ib, akhirat). Jadi, ayat-ayat mutsayabihat umumnya menyangkut soal akidah


Sumber refrensi
Dahlan, Abd Rahman. USHUL FIQH. Jakarta: Amzah. 2011.
Khallaf, Abdul Wahhab. ILMU USHUL FIKIH. Jakarta: Pustaka Armani. 2003.
Saebani, Beni Ahmad. ILMU USHUL FIQH. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2012.
Suyatno, DASAR-DASAR ILMU FIQH & USHUL FIQH.  Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2011

Posting Komentar

 
Top